RADIKALISME SEBAGAI TANTANGAN
TERHADAP IDEOLOGI PANCASILA
A. KONSEP IDEOLOGI
Setiap negara meiliki
ideologi yang dianut, termasuk Indonesia
yang menganut ideologi Pancasila.
ideologi berasal dari kata “idea”, yang artinya gagasan, konsep, pengertian
dasar, cita-cita dan “logos” yang berarti ilmu. Ideologi secara etimologis,
artinya ilmu tentang ideide (the science of ideas), atau ajaran tentang
pengertian dasar[1]. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi
didefinisikan sebagai kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Ideologi juga
diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Ideologi dapat
diartikan paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.
Jadi komponen penting di dalam ideologi adalah sistem, arah, tujuan, cara
berpikir, program, sosial, dan politik.
B.
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA
Pancasila sebagai
ideologi terbuka Pancasila harus mampu menyesuaikan diri dengan zaman. Hal
tersebut bukan berarti bahwa nilai yang terkandung dalam pancasila dapat
diganti dengan nilai dasar lain yang meniadakan jati diri bangsa Indonesia.
Makna bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka bahwa nilai-nilai dasar
pancasila seperti Ketuhanan, Kemanusiaan, Kerakyatan, dan keadilan dapat
dikembangkan sesuai dengan dinamika kehidupan bangsa indonesia dan tuntutan
perkembangan zaman secara kreatif dengan memerhatikan tingkat kebutuhan dan
perkembangan masyarakat Indonesia sendiri, serta tidak keluar dari eksistensi
dan jati diri sebagi bangsa Indonesia.
Sebagai ideologi
terbuka, Pancasila hendaknya mampu memberikan orientasi kedepan yang
mengharuskan bangsa Indonesia untuk selalu menyadari tentang kehidupan yang
akan dihadapinya di kemudian hari, terutama menghadapi era globalisasi dan
keterbukaan. Ideologi Pancasila menghendaki bangsa Indonesia tetap bertahan
dalam jiwa dan budaya bangsa Indonesia dan dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
C.
URGENSI
PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA
Pancasila sebagai
ideologi negara menghadapi berbagai bentuk tantangan. Salah satu tantangan yang
paling dominan ini adalah globalisasi. Globalisasi merupakan era saling
keterhubungan antara masyarakat suatu bangsa dan masyarakat bangsa yang lain
sehingga masyarakat dunia menjadi lebih terbuka. Dengan demikian,
kebudayaan global terbentuk dari
pertemuan beragam kepentingan yang mendekatkan masyarakat dunia. Sastrapratedja
menengarai beberapa karakteristik kebudayaan global sebagai berikut:
a. Berbagai bangsa dan
kebudayaan menjadi lebih terbuka terhadap pengaruh timbal balik.
b. Pengakuan akan
identitas dan keanekaragaman masyarakat dalam berbagai kelompok dengan
pluralisme etnis dan religius.
c. Masyarakat yang memiliki
ideologi dan sistem nilai yang berbeda bekerjasama dan bersaing sehingga tidak
ada satu pun ideologi yang dominan.
d. Kebudayaan global
merupakan sesuatu yang khas secara utuh, tetapi tetap bersifat plural dan heterogen.
e. Nilai-nilai hak
asasi manusia (HAM), kebebasan, demokrasi menjadi nilainilai yang dihayati
bersama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda-beda[2]
Pada era globalisasi
dewasa ini, banyak hal yang akan merusak mental dan nilai moral Pancasila yang
menjadi kebanggaan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Indonesia
perlu waspada dan berupaya agar ketahanan mental-ideologi bangsa Indonesia
tidak tergerus. Pancasila harus senantiasa menjadi benteng moral dalam menjawab
tantangan-tantangan terhadap unsur-unsur kehidupan bernegara, yaitu sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan agama. Tantangan yang muncul, antara lain yang
terjadi saat ini adalah masuknya paham radikalisme yang menggerus kepribadian
bangsa yang berkarakter nilai-nilai Pancasila.
D.
PENGERTIAN
RADIKALISME
radikalisme adalah
suatu komitmen kepada perubahan keseluruhan yakni menantang struktur dasar atau fundamental,
tidak hanya pada lapisan-lapisan superfisial. Secara etimologis radikalisme
berasal dari kata radix (latin) yang
berarti akar yang kemudian menjadi inti dari makna radicalism yang secara
politik kemudian diarahkan kepada setiap gerakan yang ingin merubah sistem dari
akarnya[3].
E.
REFORMASI DAN
LAHIRNYA ORMAS ORMAS RADIKAL
Pasca reformasi yang
ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan subur
tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam
seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme
bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan
sebagainya.
Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat. Akan tetapi, gerakangerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya “negara Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya “khilafah Islamiyah”.
Pola organisasinya juga beragam, mulai dari gerakan moral ideology seperti Majelis Mujahidin Indonesai (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia serta yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta. Meskipun demikian, ada perbedaan dikalangan mereka, ada yang kecenderungan umum dari masyarakat untuk mengaitkan gerakan-gerakan ini dengan gerakan radikalisme Islam di luar negeri[4].
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.
Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat. Akan tetapi, gerakangerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan “negara Islam”, namun ada pula yang memperjuangkan berdirinya “negara Islam Indonesia”, disamping itu pula da yang memperjuangkan berdirinya “khilafah Islamiyah”.
Pola organisasinya juga beragam, mulai dari gerakan moral ideology seperti Majelis Mujahidin Indonesai (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia serta yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta. Meskipun demikian, ada perbedaan dikalangan mereka, ada yang kecenderungan umum dari masyarakat untuk mengaitkan gerakan-gerakan ini dengan gerakan radikalisme Islam di luar negeri[4].
Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan.
Berbagai aksi radikalisme terhadap generasi muda kembali menjadi perhatian serius oleh banyak kalangan di tanah air. Bahkan, serangkaian aksi para pelaku dan simpatisan pendukung, baik aktif maupun pasif, banyak berasal dari berbagai kalangan.
F.
GERAKAN
RADIKALISME DI INDONESIA
Radikalisme agama yang
dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke
belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan
dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era reformasi. Gerakan
dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam
Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII
mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan
misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia. Gerakan DI ini
berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun
demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal
tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti
Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di
Lampung untuk mendirikan negaa islam dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan
utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras tersebut
adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik,
keterpinggiran politik dan semacamnya. Namun setelah terbentuknya gerakan
tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi
faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis
keras. Sungguhpun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok
muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang
radikalisme. Yan pasti radikalisme berpotnsi besar bagi masa depan peradaban
manusia. Gerakan radikalisme ini awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan
terhadap komunisme di Indonesia. Selain itu, perlawanan mereka terhadap penerapan
Pancasila sebagai asas Tunggal dalam politik. Bagi Kaum radikalis agama sistem
demokrasi pancasila itu dianggap haram hukumnya dan pemerintah di dalamnya
adalah kafir taghut (istilah bahasa arab merujuk pada “setan”), begitu pula
masyarakat sipil yang bukan termasuk golongan mereka. Oleh sebab itu bersama
kelompoknya, kaum ini menggaungkan formalisasi syariah sebagai solusi dalam
kehidupan bernegara.
Tahun 2011, Hasil
Survey Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dgn responden guru PAI dan
siswa SMP Sejadebotabek menunjukkan potensi radikal yang kuat di kalangan guru
dan pelajar dgn indikasi resistensi yg lemah terhadap kekerasan atas nama
agama, intoleransi,sikap eksklusif serta keraguan terhadap ideologi pancasila.
Tahun 2015 Survey
Setara Institute thd siswa dari 114 Sekolah Menengah Umum
(SMU) di Jakarta dan Bandung. Dalam survei ini, sebanyak 75,3% mengaku tahu tentang ISIS. Sebanyak 36,2 responden mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis, 30,2% responden menilai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 16,9% menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam[5].
(SMU) di Jakarta dan Bandung. Dalam survei ini, sebanyak 75,3% mengaku tahu tentang ISIS. Sebanyak 36,2 responden mengatakan ISIS sebagai kelompok teror yang sadis, 30,2% responden menilai pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, dan 16,9% menyatakan ISIS adalah pejuang-pejuang yang hendak mendirikan agama Islam[5].
G. MENANGGULANGI
RADIKALISME
1.
Diawali dari
keluarga, karena keluarga tempat belajar pertama kali sebelum memasuki dunia
sekolah yaitu ertama, setiap keluarga, khususnya ayah dan ibu (suami- istri)
harus memiliki pemahaman yang sama dalam membina keluarga, yaitu sebagai tempat
penempaan diri setiap anggota. Meski keluarga memiliki struktur sosial, harus
ditempatkan sebagai media bersama untuk proses 'menjadi. Artinya, keluarga
sebagai tempat penggemblengan mental-spiritual anggota dimana antara satu
dengan yang lain bisa saling belajar. Apabila ada anggota keluarga membawa
paham atau aliran yang aneh atau berparadigma radikal dapat diingatkan dan dapat
kembali seperti semula.
2.
Penjelasan
tentang toleransi. Ajaran Islam sebenarnya sangat sarat dengan nilai-nilai
toleransi. Namun sayang, toleransi sering difahami secara sempit sehingga tidak
mampu menjadi lem perekat antar umat beragama. Setidaknya, ungkapan Zuhairi
Misrawi dalam bukunya Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme, bisa menjadi salah satu pijakan dalam menjelaskan toleransi
dalam Islam. Al-Quran, yang menegaskan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta,
secara gamblang mengakui kemajemukan keyakinan dan agama. Ratusan ayat secara
eksplisit menyerukan sikap santun toleran terhadap umat agama lain. Tapi, aksi
kekerasan dan tindak intoleransi masih kerapkali terjadi. Anehnya, itu
diabsahkan dengan dalil ayat-ayat Al-Quran. Jika dibaca lebih cermat, Al-Quran
adalah lumbung ajaran toleransi nan adiluhung. Ia mengajarkan perdamaian,
kedamaian, dan ko-eksistensi. Dan, sebaliknya,mengecam keras segala bentuk
kekerasan dan permusuhan. Jantung dan spirit
Al-Quran, sebagaimana kitab suci agama-agama lain, ialah kebaikan dan
kebajikan, bukan keburukan atau kejahatan[6].
3.
Berperan Aktif
Dalam Melaporkan Radikalisme Dan Terorisme. Peranan yang dilakukan di sini
ialah ditekankan pada aksi melaporkan kepada pihak-pihak yang memiliki
kewenangan apabila muncul pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme, entah
itu kecil maupun besar. Contohnya apabila muncul pemahaman baru tentang
keagamaan di masyarakat yang menimbulkan keresahan, maka hal pertama yang bisa
dilakukan agar pemahaman radikalisme tindak berkembang hingga menyebabkan
tindakan terorisme yang berbau kekerasan dan konflik ialah melaporkan atau
berkonsultasi kepada tokoh agama dan tokok masyarakat yang ada di lingkungan
tersebut. Dengan demikian, pihak tokoh-tokoh dalam mengambil tindakan
pencegahan awal, seperti melakukan diskusi tentang pemahaman baru yang muncul
di masyarakat tersebut dengan pihak yang bersangkutan.
4. Menyaring
informasi yang didapatkan juga merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk mencegah pemahaman radikalisme dan tindakan terorisme. Hal ini
dikarenakan informasi yang didapatkan tidak selamanya benar dan harus diikuti,
terlebih dengan adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, di mana
informasi bisa datang dari mana saja. Sehingga penyaringan terhadap informasi
tersebut harus dilakukan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman, di mana
informasi yang benar menjadi tidak benar dan informasi yang tidak benar menjadi
benar. Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring informasi yang didapat sehingga
tidak sembarangan membenarkan, menyalahkan, dan terpengaruh untuk langsung
mengikuti informasi tersebut.
uny.ac.id
library.uny.ac.id
journal.uny.id
[1] Kaelan.
2013 Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
aktualisasinya. Yogyakarta: Penerbit Paradigma hal 60-61
[2]
RISTEKDIKTI. Pendidikan Pncasila hal 123
[3] Yosaphat
Haris Nurasatrya. Radikalisme Dan Terorise di Indonesia Dari Masa ke Masa. Hal
1
[4] http://www.nu.or.id/post/read/69585/akar-sejarah-dan-pola-gerakan-radikalisme-di-indonesia# diakses pada 14 Desember 2018. Pukul
13.00
[5] http://www.nu.or.id/post/read/69585/akar-sejarah-dan-pola-gerakan-radikalisme-di-indonesia#
diakses pada 14 Desember 2018. Pukul 13.10
[6] Abdul
Munip. Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1 No 2 Desember 2012 hal 177-178
Komentar
Posting Komentar